Kapan dan apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu saat mendengar kata : kehilangan?
Bagiku, ingatan itu membawa kembali ke satu momen di masa kecil, ketika aku berusia sekitar lima atau enam tahun. Saat itu, aku kehilangan seseorang yang sangat berarti—Pak Lik Roso, adik dari ibuku. Itu adalah pengalaman pertamaku menghadapi kematian. Yang paling membekas bukan hanya karena ia pergi untuk selamanya, tapi karena dulu, beliau sering membawakanku oleh-oleh setiap kali pulang dari Jakarta. Mungkin, itulah pertama kalinya aku benar-benar merasa kehilangan, takut tidak akan mendapatkan oleh-oleh lagi, dan lebih dari itu, kehilangan perhatian kecil yang terasa begitu hangat.
Aku tidak ingat pasti apa penyakitnya, hanya ingat beliau tiba-tiba dirawat di rumah sakit dan kondisinya cukup parah. Berbagai pengobatan dicoba, aku & ibuku sempat mencari undur-undur—hewan kecil yang katanya bisa digunakan untuk pengobatan tradisional. Usaha polos anak kecil yang ingin orang terdekatnya sembuh.
Semakin dewasa dan bertambah umur, semakin sering aku berjumpa dengan kehilangan. Memang begitu alurnya, kehilangan adalah satu dari sedikit hal yang pasti di dunia ini. Kita bisa kehilangan banyak hal : uang, mainan, pekerjaan, jabatan, kepercayaan, bahkan orang yang sangat kita cintai.
Dan sepahit apapun kita sudah sering merasakannya, rasa kehilangan tetap meninggalkan luka. Ada rasa sesak yang diam-diam terus menyelinap di dada. Tapi dari semua kehilangan yang pernah ada, menurutku yang paling menyakitkan adalah kehilangan seseorang yang sebenarnya masih sangat kita cinta—bukan karena kematian, melainkan karena kita memutuskan untuk saling tidak mengenal lagi.
Rasa itu sangat menyiksa, seperti kehilangan sebagian dari diri sendiri. Perasaan hampa yang perlahan merayap, menggantikan kehangatan yang dulu pernah mengisi ruang-ruang hati kita. Ada sesuatu yang hilang, dan kita tahu, itu tak bisa digantikan begitu saja.
Aku pernah menonton Sudjiwo Tedjo di salah satu talkshow, ia berkata, “Kamu bisa tahan seminggu tanpa makan dan minum, tapi kamu tidak bisa hidup tanpa harapan.” Dan kurasa, itulah alasan mengapa kehilangan terasa begitu menyakitkan—karena bersamanya, harapan-harapan kecil yang selama ini kita rawat bersama juga akan ikut menghilang.
Jatuh cinta memang lucu, di satu sisi, dunia terasa begitu indah. Tapi di sisi lain, saat cinta itu pergi, rasanya hidup seperti lorong gelap tanpa ujung. Kita tahu kita sedang menunggu sesuatu, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah kembali.
Namun, di balik luka itu, kehilangan juga membawa banyak pelajaran. Ia mengajarkan bahwa setiap pertemuan punya arti, setiap kebersamaan adalah hadiah, dan setiap cinta yang pernah hadir akan selalu meninggalkan cerita—meski tidak semuanya berakhir bahagia. Mungkin, kehilangan bukanlah tentang siapa atau apa yang pergi, tapi tentang bagaimana kita terus bertumbuh darinya. Belajar menerima, belajar melepaskan, dan terus berjalan dengan hati yang lebih kuat.
Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Justru dari kehilangan, kita belajar menghargai yang masih ada, mencintai dengan lebih bijak, dan memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya sementara. Karena semua itu tidak abadi, setiap detik yang kita punya menjadi jauh lebih bermakna.
Kita tidak pernah tahu kapan akan kehilangan sesuatu atau seseorang. Maka satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah mencintai sepenuh hati—selagi masih diberi waktu.
Terima kasih untuk seseorang yang pernah begitu berarti. Perempuan cantik di luar sana, terima kasih atas cerita luar biasa yang pernah kita bagi. Maaf untuk segala keegoisanku selama ini. Aku sadar, aku banyak salah. Ketakutanku akan kehilangan, traumaku yang belum sembuh, semua itu menciptakan ilusi yang tak pernah benar-benar ada.
Mungkin aku terlalu gengsi untuk sekadar datang dan minta maaf secara langsung. Tapi ketahuilah, aku tidak pernah membencimu. Aku hanya benar-benar takut, takut perubahan sikapmu yang tiba-tiba, takut jika kejadian lama terulang lagi.
Dan walau pada akhirnya, kehilangan itu memang benar-benar terjadi.