Grasberg, Freeport & Papua: Saat Tanah Emas Hanya Menghasilkan Luka untuk Orang Asli

Ada satu pertanyaan yang sering kira tanyakan, tapi sampai sekarang mungkin masih belum terjawab dengan jelas & pasti : Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kekayaan Papua?

Rakyat Papua? Kalau iya, lantas kenapa sampai hari ini pendidikan disana masih tertinggal, jalanan & infrastruktur tidak pernah tuntas, pelayanan kesehatan mereka bahkan masih kalah jauh dibanding toko kelontong ibu kota.

Grasberg, adalah salah satu tambang emas & tembaga terbesar kedua di dunia, terletak di wilayah Papua yang kaya akan sumber daya namun miskin dalam rasa keadilan. Tambang ini sudah mulai dikeruk sejak tahun 1967, tepat ketika outfit Soeharto berubah dari seragam dinas militer menjadi jas rapih ala-ala presiden. Di tahun yang sama kontrak perjanjian tambang antara Indonesia & Freeport resmi ditekan, bahkan sebelum Papua resmi benar-benar menjadi bagian dari NKRI lewat referendum Papua, PEPERA.

Lebih dari 50 tahun Freeport hadir di Papua seperti tamu yang numpang hidup dirumah orang, tidur nyenyak, makan enak, pakai listrik, AC, mandi air hangat, eh cuman bilang ‘tenang, nanti aku belikan beras 1 KG’. Indonesia, sebagai tuan rumah yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, cuman bisa manggut-manggut dan bilang “Nggih, Siappp”.

Sekilas, kita sempat merasa bangga ketika pada tahun 2018, pemerintahan Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Indonesia resmi memiliki 51,2% saham Freeport. Terdengar seperti sebuah serial Hero, ketika seorang pahlawan berhasil mengusir penjajah dan merebut kembali tanah nenek leluhur mereka. Tapiiiiiii, mereka lupa kalo untuk mengambil alih saham tersebut, Indonesia memerlukan uang yang jumlahnya sangat banyak, yaitu sekitar 3.8 Milyar USD.

Jika di analogikan, tetangga menyewa garasi rumah kamu sebesar 1 juta rupiah, tapi kamu membayar 100 juta rupiah agar tetanggamu mau berbagi setengah dari garasi tersebut, terdengar sangat lucu memang. Padahal jika tidak kamu sewakan, kamu punya seluruh garasi tersebut tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

Yang lebih lucu, alih-alih dikasih ke Papua untuk diolah & kelola, saham itu malah di pegang pemerintah lewat sebuah BUMN yaitu Mining Industry Indonesia (MIND ID). Mungkin negara merasa kalau SDM Papua belum mampu untuk mengelola, atau malah sebenarnya Papua dibiarkan tetap bodoh & tertinggal agar mereka tidak pernah bisa mengelola sumberdaya mereka sendiri.

Papua cukup merasakan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pegunungan yang berubah jadi kawah raksasa, pepohonan yang ditebang, limbah tailing, pencemaran sungai, dan menciptakan zona mati puluhan kilometer. Tenang, semua itu bisa diatasi bermodalkan surat sakti bernama AMDAL, sebuah dokumen yang katanya dapat meminimalisir kerusakan.

Memang, perusahaan dan negara sesekali memberikan kompensasi dalam bentuk pelatihan kerja, pendidikan gratis, cek kesehatan atau progam-progam CSR lainnya. Tapi, apakah sebanding dengan Milyaran dollar yang hilang dan keluar dari tanah Papua?

Aku sempat membayangkan, gimana ya kalo Papua tidak pernah menjadi bagian Indonesia, dan tetap dibawah kekuasaan Belanda. Mungkin, jika masih dipegang Belanda infrastruktur jalan pasti akan sangat mulus, karena sepeda akan menjadi transportasi utama. Pendidikan akan menjadi prioritas, Rumah Sakit akan ada disetiap distrik, kesehatan bukan hal yang menakutkan, gizi anak-anak pasti akan sangat diperhatikan. Biarlah mereka tetap dijajah bangsa asing, daripada Merdeka tapi terus-terusan di perbudak bangsa sendiri.

Jadi mau sampai kapan kita akan terus berteriak Papua adalah Indonesia? Benarkah Papua adalah bagian dari Ibu Pertiwi? atau jangan-jangan Papua hanyalah sebatas anak tiri, lalu Indonesia adalah Ibu tiri yang sangat kejam.

Papua tidak butuh janji-janji manis, progam kerja atau seremoni potong pita. Papua butuh keadilan, Papua hanya butuh hak untuk menikmati dan mengelola kekayaan alam mereka sendiri, untuk hidup layak & bahagia diatas tanah mereka sendiri.

Dan sebelum itu tercapai, selama keadilan belum benar-benar ditegakkan, maka jangan heran jika suara dari timur aka terus menggema. Menagih janji, menuntut hak dan mempertanyakan apa sih makna sebenarnya dari “Merdeka“.

Leave a Comment