Di dunia microstock ada satu fase yang bisa disebut sebagai “ritual sakral” yang biasanya orang-orang menyebutnya pecah telur, yaitu ketika satu karya kita, yang kita upload dengan penuh harapan, akhirnya laku terjual. Itu semacam pertanda kalau kamu sekarang sudah sah diakui semesta.
Bagi kebanyakan pemula Shutterstock, momen pecah telur ini jadi semacam tonggak sejarah pribadi. Dan pada tanggal 10 April 2025 kemarin, ritual sakral itu akhirnya ikut juga aku rasakan. Rasanya? Campur aduk. Antara senang, kaget, dan haru, semua bercampur jadi satu.
Senang karena akhirnya fotoku laku terjual, kaget juga “kok bisa foto kaya gini ada yang beli”, dan sedikit haru karena ternyata usaha yang sudah kita lakukan sedikit menghasilkan hasil. Namun di situlah letaknya seni microstock.
Berapa Lama Waktu Yang Dibutuhkan Sampai Foto Pertama Laku di Shutterstock?
Merujuk pada postingan sebelumnya, saya baru benar-benar balik lagi ke Shutterstock sekitar bulan Ramadhan kemarin.
Tepatnya, foto pertama yang berhasil di-approved itu tanggal 23 Maret 2025. Berarti butuh waktu sekitar 18 hari sampai akhirnya karyaku laku terjual.
Jika dibandingkan dengan target awalku, sebenarnya ini jauh lebih cepat dari perkiraan. Aku pikir baru akan bisa memecahkan telur di bulan ketiga atau setidaknya setelah punya ratusan karya. Tiga bulan, aku pikir, adalah waktu yang logis untuk membangun sebuah portofolio, mempelajari apa yang sedang tren, dan mulai membiasakan diri dengan sistem Shutterstock.
Ternyata belum lepas bulan April, ada yang tertarik membeli, tentu rasanya seperti dikasih “angin syurga,” hehehe. Jika dianalogikan, itu seperti kamu suka dengan seseorang; kamu mulai PDKT, kasih perhatian, semangat, dan baru 18 hari ternyata seseorang yang kamu perjuangkan itu ternyata juga “balik suka.”
Kalo kata Agus Buntung, “Jeg menyalaaaa wiiii, Agus nih bos, tamplig dong.”
Jumlah Portofolio Saat Pecah Telur: Apakah Harus Banyak Dulu?
Sampai hari ini total saya sudah punya 78 foto yang berhasil di-approved dan masuk portofolio. Itu, tidak termasuk foto yang masuk data lisensi .
Awalnya aku mikir, seenggaknya portofolioku harus ada sekitar 100-200 dulu, baru akan muncul di algoritma Shutterstock dan ada yang membeli; ternyata belum genap 100, akhirnya karyaku bisa terjual.
Jumlah 78 itu bukan angka pasti, bukan juga angka ajaib yang menjamin hasil. Karena di dunia microstock, semuanya bisa jadi relatif.
Ada orang yang langsung pecah telor di foto pertamanya. Ada yang butuh belasan, puluhan, bahkan ratusan baru merasakan penjualan; bahkan ada yang butuh ribuan portofolio hanya untuk menunggu satu notifikasi penjualan.
Ini semacam lotre, di mana kamu bisa mengatur sendiri berapa tiket undian yang kamu punya, lewat seberapa banyak dan konsistensi kamu dalam berkarya. Semakin banyak portofolio yang kamu punya, semakin banyak tiket undian yang kamu pegang.
Aku tahu ini hanyalah awal. 78 foto bukan angka yang fantastis dan satu penjualan bukan berarti bisa langsung hidup santai dari Shutterstock. Tapi setidaknya, ini bukti bahwa setiap usaha memiliki potensi untuk dibayar, sekecil apa pun itu.
Dan di titik ini, saya merasa semua waktu yang saya habiskan untuk motret, mengunggah, membuat deskripsi, dan menunggu ulasan, semuanya terbayar.
Bahkan kalaupun nilainya belum besar, setidaknya semesta sudah bilang, “Gasss terus cuyyy.”
Foto yang Pertama Laku, Bukan Yang Kita Bayangkan
Jika kamu mengira foto yang laku adalah sebuah foto yang estetis yang diambil dengan kamera mahal, pencahayaan seperti studio foto dan konsep super rumit yang penuh pertimbangan artistik, maka kamu keliru dan salah besar.
Semua foto yang saya unggah di Shutterstock untuk sementara ini saya jepret menggunakan smartphone dengan resolusi 12 megapiksel. Kebanyakan hanyalah foto objek yang ada di sekitarku saja: foto bunga, pemandangan alam, papan-papan petunjuk, atau bangunan.
Nah, foto yang berhasil laku adalah sebuah foto anak kecil setelah bermain air. Foto itu aku jepret tidak sengaja ketika tetangga depan rumah sedang mengepel rumah dan anaknya ikut bermain air.

Yang menarik, sebenarnya itu adalah foto lama, yang saya ambil kurang lebih setahun yang lalu. Jauh sebelum aku kembali ke dunia microstock. Foto itu pun sempat aku lupakan, tersimpan begitu saja di folder HP dan bercampur dengan berbagai macam screenshot-an secara acak.
Aku unggah karena menurutku foto itu memiliki ekspresi yang jujur, sangat natural & memiliki pencahayaan yang pas. Untuk ukuran foto dadakan dan orang yang bahkan tidak tahu komposisi foto (waktu itu), menurutku sangat lumayanlah.
Harga Foto Pertama, Gak Bisa Buat Bayar Parkir
0,1 dolar, Yap, betul, kamu tidak salah lihat. Jika dirupiahkan dengan kurs dolar hari ini, itu berarti hanya sekitar 1.600-an. Jumlah yang bahkan untuk membayar parkir saja tidak cukup.
Kaget? Enggak juga, karena dari awal aku memang sudah tahu risiko itu. Pengalaman ini mengajarkanku tentang mentalitas berkarya. Bahwa sekecil apapun hasilnya, kita tetap punya hak untuk merasa bangga.
Banyak yang berhenti di tengah jalan karena terlalu fokus pada angka. Padahal jika kamu ingin menikmati prosesnya, kamu bakal punya banyak hal baru: kamu bisa mengedit foto, mengeksplorasi berbagai macam gaya, dan tahu komposisi foto yang baik itu caranya.
Jika kamu tidak bisa menghargai hal-hal kecil, kamu tidak akan bisa mendapatkan hal-hal yang lebih besar.”
Aku bakalan selalu bilang, Kalau kamu ingin cepat kaya, jangan masuk Shutterstock. Tapi kalau kamu ingin sesuatu yang bisa jadi investasimu di masa depan, Shutterstock atau microstock mungkin adalah pilihan yang sangat tepat.Sekarang fotomu hanya dihargai 0.1 dolar, tapi siapa yang tahu, karya-karya kecilmu yang lain bisa jadi celengan digital yang akan terus mengalir.
Pendapatan pasif bukan mitos cuy.
Pecah Telur Adalah Sebuah Pembuktian
Di dunia yang serba cepat dan instan seperti sekarang, kita seringkali lupa kalau proses itu penting. Apalagi mie instan saja tidak instan-instan banget; masih harus dibuka, direbus, ditiriskan, dan dikasih bumbu. Baru deh kamu bisa menikmatinya.
Buatku, momen pecah telur ini bukan sekadar momen jualan foto pertama. Ini tentang rasa percaya diri yang mulai tumbuh perlahan. Bahwa dari sebuah kamera HP, momen sederhana dan ketekunan yang konsisten dapat mengantarkanmu ke tempat yang tak terduga.
Ke depan, semua pengalaman yang saya alami bakal saya tulis dan bagikan dalam blog ini. Sebagai catatan perjalanan, sekaligus sebagai penyemangat teman-teman yang baru mulai, atau yang masih menunggu momen sakral “pecah telur”.
Semua peristiwa yang aku alami ke depan akan aku tuliskan dan share lewat blog ini. Semoga bisa menjadi penyemangat teman-teman yang baru mulai terjun di dunia microstock atau yang masih ragu-ragu untuk mulai.
Silakan komen dan bagikan pengalaman pecah telurmu disini. Siapa tahu menjadi inspirasi buat teman-teman yang masih ragu untuk mendaftar di Shutterstock.
Jadi, bagaimana caranya? Apakah sudah mulai tertarik?